(sumber gambar: miriadna.com) |
Mungkin Tuhan mulai
bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa…..
Atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita… Coba kita bertanya pada rumput
yang bergoyang…. (Berita Kepada Kawan - Cipt. Ebiet G. Ade)
Ebiet G. Ade sedang
berhipotesis dalam lagunya bahwa semua kejadian yang tidak mengenakkan dan
menyedihkan sebenarnya dikarenakan tingkah laku kita yang semena-mena terhadap
alam. Sehingga Sang Pencipta yang rahman dan rahim sampai-sampai
digambarkan “bosan” melihat tingkah kita. Alam pun dimetaforakan menjadi malas
bersahabat dengan kita. Syair lagu ditutup dengan ungkapan kebingungan yang
luar biasa atau bahkan dapat ditafsirkan sebagai ekspresi keputusasaan yang
berbunyi “coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”.
Memang rasanya sah-sah
saja jika kita mulai pesimis melihat fenomena ekologis yang ada di sekeliling
kita. Tanah longsor lumrah, kekeringan wajar, dan banjir menjadi suatu agenda
rutin tahunan di beberapa wilayah. Semuanya menjadi biasa, sehingga manusia
mulai mencoba berkompromi (baca: menyerah) dengan situasi tersebut.
Pertanyaannya adalah bijakkah jika kita menyerah menghadapi fenomena alam yang
merupakan efek turunan dari gejala pemanasan global tersebut.
Terminologi pemanasan
global beberapa tahun ini menjadi trend perbincangan di
segenap penjuru dunia. Tetapi sebenarnya fenomena tersebut sudah mendapat
perhatian yang besar sejak diselenggarakannya United Nations Conference
on Human Environment di Stockholm Swedia pada tahun 1972. Konferensi
tersebut merupakan momentum penting diangkatnya masalah lingkungan sebagai isu
global. Lingkungan hidup semakin dianggap sebagai pemegang peranan bagi
keberlanjutan kehidupan makhluk hidup di muka bumi.
Permasalahan lingkungan
dewasa ini seperti mendapatkan legitimasi bahwa itu semua disebabkan oleh satu
gejala yang disebut pemanasan global. Rasanya tidak salah jika
dikatakan bahwa fenomena pemanasan global dianalogikan sebagai kotak pandora yang
semakin lama semakin lebar terbuka dan memberikan impact yang
luar biasa besarnya terhadap kehidupan di planet ini. Semakin lama bumi menjadi
semakin tidak bersahabat terhadap penghuninya. Diberitakan bahwa bumi dalam
beberapa tahun mendatang sedang mengalami ancaman peningkatan suhu sebesar
empat derajat celcius. Peningkatan suhu tersebut membawa pengaruh mengerikan
yaitu permukaan es Greenland mencair dan 60% kehidupan dunia diperkirakan
musnah akibat naiknya permukaan air laut hingga lebih tujuh meter secara global.
Kemudian es Antartika Barat juga mencair yang menyebabkan naiknya air laut
sampai 3,3 meter secara global.
Sebenarnya tidak usahlah
kita jauh-jauh berpikir efek yang akan datang di masa yang akan datang
tersebut, karena sekarang pun kita sudah mulai merasakan efek pemanasan global
tersebut. Desember yang katanya singkatan dari gede-gedenya sumber (air), saat
ini sangat jarang terjadi hujan, Bogor yang katanya kota hujan sekarang lebih
pantas disemati julukan kota macet atau kota angkot karena intensitas turunnya
hujan tidak sesering beberapa tahun yang lalu. Hal tersebut terjadi karena
terjadinya perubahan iklim dan musim. Musim panas dan musim penghujan sudah
tidak jelas perbedaannya atau bahkan mungkin telah bertukar waktu operasi.
Pengaruh yang paling massive adalah beberapa yang waktu lalu
diberitakan, yaitu bongkahan es dari Antartika yang berdiameter satu kilometer
sudah mulai mendekat di kepulauan Selandia Baru.. What a horrible
phenomenon!! Bukankah Selandia Baru tidak jauh dari Indonesia? Kemudian,
yang belum lama ini terjadi adalah pecahnya bongkahan es di Antartika yang
disebabkan oleh gempa di Jepang pada beberapa bulan yang lalu. Pecahan es
tersebut memiliki ukuran dua kali lipat dari Kota Manhattan di Amerika Serikat.
Betapa mengerikannya. Walau ini bukan efek yang ditimbulkan secara langsung
oleh pemanasan global, tapi ini dengan jelas memberikan efek yang tidak kecil
pada kehidupan di bumi.
Pemanasan global datang
tidak dengan tiba-tiba. Gejala tersebut datang karena terdapatnya paham
antroposentris atau paham yang menjelaskan bahwa semua yang ada di muka bumi
terpusat pada kepentingan manusia. Parahnya, manusia yang dijadikan subjek
justru manusia yang semakin pragmatis, konsumtif, dan oportunis. Manusia
seperti telah menjadi monster bagi bumi, manusia telah menjelma sebagai lintah
yang mengisap potensi alam tanpa kenal puas sampai alam benar-benar tidak
menyisakan sesuatu untuk dihisap. Manusia menjadi semakin tidak peduli dan
pura-pura tidak peduli dengan carrying capacity alam yang
semakin tidak mendukung apa yang sedang menjadi impian semua manusia yaitu
modernisasi dan globalisasi tanpa sadar bahwa hal itu membawa efek negatif yang
menjadi turunannya.
Beberapa negara di dunia
sebenarnya telah mulai sadar akan fenomena pemanasan global. Hal tersebut
terlihat dari berbagai konferensi yang khusus diadakan untuk membahas perubahan
iklim dan pemanasan global. Selain itu juga dikeluarkannya beberapa policy yang
terkait dengan batasan emisi gas buang knalpot kendaraan bermotor. Tetapi
negara-negara yang memproduksi polusi udara paling tinggi di dunia seperti
China, Amerika Serikat, dan India belum memiliki niat tulus dan itikad baik
untuk turut berperan serta dalam menurunkan emisi gas polutan di negaranya.
Karena dengan menurunkan emisi gas buang yang berpolusi tersebut berarti
ekuivalen dengan penurunan pendapatan dari sektor industri. Hal itu sudah
terbukti di Linfen (China), kota berpolusi tertinggi di dunia, yang pendapatan
brutonya berkurang USD 300 juta karena menutup 3700 pusat penambangan
tradisional serta ratusan pabrik baja dan besi sebagai usaha untuk mengurangi
polusi di kota tersebut. Maka dari itu negara-negara tersebut menjadi enggan
untuk mengeluarkan suatu kebijakan konkret untuk turut serta mengurangi polusi udara
di dunia.
Bulan Desember ini
Indonesia menjadi salah satu negara yang mengirimkan delegasinya ke Denmark
untuk mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim di Kota
Kopenhagen. Sekadar informasi, negara-negara macam Amerika Serikat, China, dan
India sebagai negara dengan emisi gas polutan tertinggi di dunia masih setengah
hati untuk mengurangi polusi udara yang diproduksinya. Tetapi terdapat sedikit
angin segar yang bertiup, yaitu Indonesia mampu menggolkan lima pasal
dalam draft kesepakatan KTT tersebut yang intinya semua negara
di dunia harus bersedia untuk berperan serta mengurangi emisi gas buang dan
menjaga “kesehatan” lingkungannya. Tetapi peran Indonesia yang menonjol
tersebut hanya akan menjadi hal yang absurd jika kita sebagai
manusia yang hidup di dalamnya tidak melakukan sesuatu untuk merealisasikan apa
yang diamanatkan oleh KTT tersebut. Karena menurut hadist kullukum
ra’yun wa kullu kum mas’ulunan ra’yatikum atau setiap dari
kalian adalah pemimpin dan kalian bertanggung jawab atas yang kalian pimpin.
Maka segeralah kita pimpin diri kita masing-masing untuk segera melakukan hal
sekecil apapun untuk memberikan suatu efek yang besar bagi kelangsungan hidup
kita sebagai manusia, agar Bumi tidak segera menjadi pembahasan dalam teks sejarah
peradaban lain, di kehidupan yang lain, di planet lain dan di galaksi lain.
Karena alam sedang sangat serius dengan ancaman yang sebenarnya merupakan efek
balik dari apa yang kita lakukan padanya. Iya, alam sedang tidak bersandiwara
dengan kita!
Ya.. Alam memang tidak bersandiwara karena sesungguhnya ia penyanyi. *ditengkas vety vera* *nyusruk*
BalasHapuswelcome to blogworld kangmas! :D
Happy posting, can't wait for your gombal post!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusYyuuxxx, mulai dari yang sederhana dari diri kita ^_^ Misal : membuang sampah pada tempatnya dan juga membawa kantong belanja sendiri untuk mengurangi konsumsi kantong kresek/plastik
BalasHapusCuma mau ralat Stockholm Conference : United Nations Conference on THE Human Environment :)
BalasHapusMaap, semangat ngeblog masih naik turun. tunggu postingan berikutnya ya. Bwek \O_+/
BalasHapus